BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dewasa ini berbagai bentuk pelanggaran
moral yang dilakukan oleh remaja banyak dijumpai di masyarakat dimana salah
satu penyebabnya adalah perubahan pola asuh dalam keluarga (Hawari, 2005). Pola
asuh orang tua adalah pola orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya
dalam memberi perlindungan ddan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari
(Baumrind, 2003). Menurut E.B.Hurlock saat ini terdapat tiga metode yang umum
digunakan orang tua dalam mendidik anaknya, yaitu pendekatan secara
otoriter/dipaksakan, secara permisif/serba membolehkan dan secara
demokratis/kesamaan. Oleh karena itu pola asuh orang tua yang baik sangat
diperlukan karena masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak
menuju masa dewasa. Karena pada masa ini remaja mengalami banyak perubahan pada
emosi, perubahan pada fisik atau tubuh serta perubahan pada pola perilaku,
minat dan nilai-nilai yang ada pada dirinya (Hurlock, 1980). Dan perubahan pada
meningginya emosi terutama disebabkan karena remaja berada dibawah tekanan
sosial dalam menghadapi kondisi-kondisi baru tersebut. Masa ini sering disebut
juga masa “storm and stress” atau masa “tekanan dan badai”. Sebagian
besar dari remaja mengalami ketidakstabilan emosi dari waktu ke waktu sebagai
konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial
yang baru. Dan permasalahan-permasalahan yang sering timbul pada masa remaja
yang merupakan pemicu depresi antara lain adalah masalah hubungan dengan orang
lain, baik dengan orang tuanya maupun dengan teman sebayanya (Goleman,1997).
Remaja yang mengalami depresi seringkali tidak mampu atau tidak mau
membicarakan kesedihan mereka dan juga tidak mampu menyebut perasaan mereka
dengan tepat Ketidakmampuan orang tua mengenali masalah anaknya menyebabkan
banyak remaja yang akhirnya mengalami kegagalan dalam penyelesaian masalah yang
mereka hadapi. Pada akhirnya banyak remaja yang mengalami depresi .
Sebuah penelitian yang dilakukan
terhadap lebih dari 39.000 orang, menemukan bahwa laju depresi pada remaja
lebih tinggi dibandingkan dengan orang dewasa. Di Jerman, pada tahun 1914, meningkatnya
depresi sangat erat kaitannya dengan peristiwa politik, dan orang dewasa yang
mengalami depresi pada saat itu hanya menunjukkan angka 4-14 persen, sedangkan
selebihnya dialami oleh remaja. Di Amerika pada tahun 1955, orang dewasa yang
mengalami depresi hanya menunjukkan angka 6 persen, sedangkan selebihnya
dialami oleh remaja. Kecenderungan yang sama juga terjadi di Puerto
rico,Canada, Italia, Jerman, prancis, Taiwan, Libanon, Selandia Baru, dan
Beirut (Goleman, 1997). Penelitian yang baru saja dilakukan di Amerika
menunjukkan bahwa lebih dari separuh penduduk Ameika mengalami depresi karena perjalanan
hidup mereka. Angka yang tertinggi terjadi pada remaja dan angka it uterus
meningkat (Meier, 2001). Sedangkan di Indonesia belum ada catatan pasti tentang
jumlah remaja yang mengalami depresi. Menurut data riset kesehatan dasar tahun
2007 yang diadakan Departemen Kesehatan RI, gangguan mental emosional (depresi
dan anxietas) dialami sekitar 11,6% populasi indonesia (24.708.000 orang) yang
usianya diatas 15 tahun. Untuk jakarta penderita yang mengalami depresi lebih
tinggi yaitu 14,6%. Sementara itu untuk gangguan jiwa berat, sebanyak 0,48%
dari populsi DKI Jakarta (1.065.000 orang) mengalami skizofrenia dan lain-lain.
Adapun angka rata-rata dunia adalah 0,5-1%. Tingginya depresi di kota besar
salah satunya disebabkan gaya hidup masyarakat kota yang individual. Dari data riset
kesehatan Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan tahun 2007 memperlihatkan
bahwa prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia adalah sebesar 4,6‰.
Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (20,3‰) yang kemudian
secara berturut turut diikuti oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (18,5‰),
Sumatera Barat (16,7‰), Nusa Tenggara Barat (9,9‰), Sumatera Selatan (9,2‰).
Prevalensi terendah terdapat di Maluku (0,9‰). Prevalensi nasional Gangguan
Mental Emosional Pada Penduduk Umur lebih dari 15 Tahun adalah 11,6%
(berdasarkan Self Reported Questionnarie). Sebanyak 14 provinsi mempunyai
prevalensi Gangguan Mental Emosional Pada Penduduk Umur lebih dari 15 Tahun diatas
prevalensi nasional, yaitu secara nasional, 10 kabupaten/kota dengan prevalensi
Gangguan Mental Emosional tertinggi adalah Luwu Timur (33,7%), Manggarai
(32,4%), Aceh Selatan (32,1%), Purwakarta (32,0%), Belitung Timur (31,0%),
Banjarnegara (30,5%), Boalemo (29,9%), Cirebon (29,9%) dan Kota Malang (29,6%).
Sedangkan 10 kabupaten/kota dengan prevalensi Gangguan Mental Emosional
terendah adalah Yahukimo (1,6%), Pulang Pisau (1,7%), Karimun (1,9%), Jayapura
(1,9%), Sidoarjo (1,9%), Tabalong (2,1%), Maluku Tengah (2,4%), Kota Baru
(2,4%), Kudus (2,4%), dan Muaro Jambi (2,4%). (http://www.ppid.depkes.go.id).
Para ahli mengemukakan (Gunarsa dan
Gunarsa, 1995; Helm dan Turner, 1995; Papalia, Olds dan Feldmand, 1998)
mengemukakan bahwa pola asuh dari orang tua amat mempengaruhi keperibadian dan
perilaku anak. Kaitan antara gaya pengasuhan orang tua dengan perkembangan
sosiomosional anak, lebih majemuk sifatnya. Gaya pengasuhan orang tua yang
serba membolehkan sangat merugikan bagi anak. Anak akan menjadi impulsif dan
mudah frustasi, setelah dewasa mereka juga sulit menguasai emosi dan tidak
memiliki rasa tanggung jawab serta tidak mampu memimpin. Sedangkan, orang tua
yang otoriter cenderung mempunyai anak yang secara sosial tidak kompeten,
jarang mengambil inisiatif dalam interaksi sosial, harga diri mereka juga
rendah. Mereka juga merasa bahwa kontrol yang ketat terhadap mereka adalah
karena mereka belum mampu bertanggung jawab (Sujiono, 2005). Sedangkan rumah
tangga yang demokratis ditandai dengan kebebasan dengan peraturan, anak
memiliki kebebasan untuk memilih dan akan mengalami konsekuensi dari setiap
perilaku yang melanggar peraturan. Sebaliknya remaja memperlihatkan sikap
muram, marah, tidak sabar dan berang terutama kepada orang tua mereka. Hal
tersebut membuat orang tua mereka merasa sulit memberikan dukungan omosional
dan bimbingan yang benar-benar di butuhkan oleh remaja yaitu putus cinta, mendapatkan
nilai prestasi yang buruk di sekolah, konflik dengan teman dan masih banyak
lagi permasalahan lain pada remaja yang dapat menimbulkan depresi.
Permasalahan-permasalahan yang sering timbul pada masa remaja yang merupakan
pemicu depresi antara lain adalah masalah hubungan dengan orang lain, baik
dengan orang tuanya maupun dengan teman sebayanya (Goleman,1997). Remaja yang
mengalami depresi seringkali tidak mampu atau tidak mau membicarakan kesedihan
mereka dan juga tidak mampu menyebut perasaan mereka dengan tepat.
Masa remaja merupakan masa yang rentan
terhadap masalah yang dihadapi, padahal disisi lain remaja merupakan generasi
penerus bangsa, calon pemegang estafet kepemimpinan bangsa di masa yang akan
datang. Pola asuh orangtua turut membentuk dasar kepribadian seseorang, apakah
akan menjadi seorang yang yang memiliki kepribadian yang kokoh atau rapuh
sehingga mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap stresor (Suwanto, 2009). Dan
pola asuh orang tua seharusnya adalah suatu pola atau sistem yang diterapkan
dalam menjaga, merawat dan mendidik seorang anak yang bersifat relatif yaitu
sifatnya menyesuaikan keadaan dan konsisten dari waktu ke waktu. Karena pola
perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dari segi positif atau negatif (Lien
Laura, 1989). Karena pada masa remaja juga secara kejiwaan terjadi pergolakan
yang hebat. Pada masa ini, seorang remaja mulai dewasa mencoba kemampuannya,
disatu pihak ia sudah merasa dewasa, sedang dilain pihak belum sanggup dan belu
ingin menerima tanggung jawab atas semua perbuatannya. Ego sentrik bersifat
menantang terhadap otoritas, senang berkelompok, idealis adalah sifat-sifat
yang sering terlihat. Seseorang yang mengalami banyak gangguan pada masa ini,
bila mengalami masalah pada masa sesudahnya mungkin akan mengalami
gangguan-gangguan jiwa (Yosep, 2007). Oleh karena itu keterlibatan pola asuh orang
tua sebagai orang yang terdekat di dalam keluarga dan orang yang dapat mengerti
perasaan yang sedang dialami anaknya sangat diperlukan. Hal ini perlu, karena
dengan demikian diharapkan dapat secara serius memberikan dukungan kepada anak.
Salah satunya dengan menggali kecenderungan pola asuh keluarga, sehingga bisa
dikaji hal-hal yang perlu dilakukan untuk penatalaksanaan dan pola asuh yang
paling sesuai dengan yang mempunyai prinsip-prinsip tatalaksana perilaku yang
berbeda dengan pola pengasuhan umumnya.
Berdasarkan permasalahan diatas
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan pola asuh keluarga
dengan terjadinya gejala depresi pada remaja di kelas 3A SMK YP Pare.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Hubungan Pola Asuh
Keluarga dengan Terjadinya Gejala Depresi Pada Remaja di SMK Kelas 3A????????
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan pola asuh
keluarga dengan terjadinya gejala depresi pada remaja di SMK???
1.3.2
Tujuan Khusus
1.3.2.1. Mengidentifikasi Pola
Asuh Keluarga dengan Terjadinya Gejala Depresi Pada Remaja di Kelas 3a ??????
1.3.2.2. Mengidentifikasi Terjadinya
Depresi pada Remaja di Kelas 3A S?????
1.3.2.3. Mengidentifikasi Hubungan
Pola Asuh Keluarga dengan Terjadinya Gejala Depresi Pada Remaja di Kelas 3A ?????????
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Bagi Responden
Menjadi masukan dan informasi tentang
fungsi dari orang tua dalam memberikan peran asah, asuh, dan asuh pada anggota
keluarganya.
1.4.2
Bagi Institusi Terkait
Memberikan masukan tentang peran serta
orang tua dalam memberikan pola asuh yang baik.
1.4.3
Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai referensi ilmiah dan dapat digunakan sebagai data penelitian
selanjutnya.
1.4.4
Bagi Peneliti
Memberikan pengalaman
nyata dalam proses penelitian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
No comments:
Post a Comment