BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Pola Asuh Keluarga
Pola
asuh adalah pola orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya dalam
memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kehidupan
sehari-hari (Baumrind, 2003). Sedangkan menurut Maichati (dalam Sayuti, 1993)
menjelaskan bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan
anak-anaknya. Sikap tersebut meliputi cara orangtua dalam memberikan
aturan-aturan dalam kehidupan sehari-hari.
Pola
asuh orang tua adalah suatu pola atau sistem yang diterapkan dalam menjaga,
merawat dan mendidik seorang anak yang bersifat relatif konsisten dari waktu ke
waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dari segi positif atau
negatif (Lien Laura, 1989).
Para
ahli mengemukakan (Gunarsa dan Gunarsa, 1995; Helm dan Turner, 1995; Papalia,
Olds dan Feldmand, 1998) mengemukakan bahwa pola asuh dari orang tua amat
mempengaruhi keperibadian dan perilaku anak. Baumrind, ahli psikologi
perkembangan membagi pola asuh orang tua menjadi 3 yakni otoriter, permisif,
dan demokratis:
1.
Pola asuh otoriter (parent oriented). Ciri-ciri dari pola asuh ini,
menekankan segala aturan orang tua harus ditaati oleh anak. Orang tua bertindak
semena-mena, tanpa dapat dikontrol oleh anak. Anak harus menurut dan tidak
boleh membantah terhadap apa yang diperintahkan oleh orang tua. Dalam hal ini,
anak seolah-oleh menjadi “robot”, sehingga ia kurang inisiatif, merasa takut,
tidak percaya diri, pencemas, rendah diri, minder
dalam pergaulan; tetapi disisi lain, anak bisa memberontak, nakal, atau
melarikan diri dari kenyataan, misalnya dengan menggunakan narkoba (alchohol or
drug abuse). Dari segi positifnya, anak yang didik dalam pola asuh ini,
cenderung menjadi disiplin yakni mentaati peraturan. Akan tetapi bisa jadi, ia
hanya mau menunjukkan kedisiplinan dihadapan orang tua, padahal di hatinya
berbicara lain, sehingga ketika di belakang orang tua, anak bersikap dan
bertindak lain. Hal itu tujuannya semata hanya untuk menyenangkan hati orang
tua. Jadi anak cenderung memiliki kedisiplinan dan kepatuhan yang semu.
2.
Pola asuh permisif. Sifat pola asuh ini, childreen centered yakni segala aturan
dan ketetapan keluarga ditangan anak. Apa yang dilakukan anak diperbolehkan
orang tua. Orang tua menuruti segala kemauan anak. Anak cenderung bertindak
sewena-wena, tanpa pengawasan orang tua. Ia bebas melakukan apa yang
diinginkan. Dari sisi negatif lain, anak kurang
disiplin dengan aturan-aturan sosial yang berlaku. Bila anak mampu
menggunakan kebebasan tersebut secara bertanggung jawab, maka anak akan menjadi
seorang mandiri, kreatif, inisiatif dan mampu mewujudkan aktualisasinya.
3.
Pola asuh demokratis. Kedudukan antara anak dan
orang tua sejajar. Suatu keputusan diambil bersama dengan memperhitungkan kedua
belah pihak. Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apa yang
dilakukan oleh anak tetap harus berada dibawah pengawasan orang tua dan dapat
dipertanggung jawabkan secara moral. Orang tua dan anak tidak dapat berbuat
sewena-wena. Anak diberi kepercayaan dan dilatih untuk mempertanggung jawabkan
tindakannya. Akibat positif dari pola asuh ini, anak akan menjadi seorang
individu yang mempercayai orang lain, bertanggung jawab terhadap
tindakan-tindakannya, tidak munafik, jujur. Namun akibat negatif, anak akan
cenderung merongrong kewibawaan otoritas orang tua, kalu segala sesuatu harus
dipertimbangkan antara anak-orang tua.
4.
Pola asuh situasional. Dalam kenyataannya,
sering kali pola asuh tersebut ditetapkan secara kaku, artinya orang tua tidak
menetapkan salah satu tipe pola asuh tersebut. Ada kemungkinan orang tua
menerapkan secara fleksibel, luwes dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi
yang berlangsung pada saat itu. Sehingga sering kali munculah, tipe pola asuh
situasional. Orang yang menerapkan pola asuh ini, tidak berdasarkan pada pola
asuh tertentu, tetapi semua tipe tersebut diterapkan secara luwes.
Sedangkan menurut E.B.Hurlock dalam Ihromi (2004), pola
sisialisasi yang digunakan orang tua dalam mengasuh anak-anaknya adalah :
1. Otoriter: anak tidak
memperoleh kesempatan untuk mengendalikan perbuatan perbuatannya.
-
Orang tua memiliki kaidah kaidah dan peraturan yang kaku.
-
Setiap pelanggaran dikenakan hukuman.
-
Sedikit sekali atau tidak pernah ada pujian atau tanda tanda
yang membenarkan tingkah laku anak apabila mereka melakasanakan aturan.
-
Tingkah laku anak dikekang secara kaku, tidak ada kebebasan
berbuat kecuali sudah ditetapkan.
-
Orang tua menentukan bagaimana harus berbuat.
2.
Demokratis: Orang tua yang demokratis adalah orang tua yang
berusaha untuk menumbuhkan kontrol diri dalam diri anak.
-
Orang tua menggunakan diskusi, penjelasan dan alasan yang
membantu anak mengerti ia diminta mematuhi aturan.
-
Orang tua menekankan aspek pendidikan ketimbang aspek
hukuman.
-
Hukuman tidak pernah kasar, dan hanya diberikan apabila anak
sengaja menolak perbuatan yang harus ia lakukan.
-
Apabila perbuatan anak sesuai dan patut, orang tua memberi
pujian.
3.
Permisif: pada pola ini pengawasan sangat longgar.
-
Orang tua bersikap membiarkan atau mengizinkan setiap
tingkah laku anak.
-
Tidak pernah memberi hukuman.
-
Membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tata cara yang
memberi batasan-batasan dari tingkah lakunya.
-
Pada saat terjadi hal yang berlebihan barulah orang tua
bertindak.
Sedangkan menurut Maurice
(1999), kesalahan orang tua menghadapi anak remaja adalah :
1.
Keterampilan orang tua mengasuh anak secara
bebas/memanjakan.
Melihat masa remaja
sebagai satu periode pemberontakan yang terhindarkan dan orang tua hanya
memiliki sedikit kemampuan untuk mempengaruhi anak-anak belasan tahun, maka
orang tua menerima dan memaafkan saja anak-anak muda yang berperilaku tidak
bertanggung jawab. Orang tua yang serba membolehkan, menghindari konflik,
karena mereka merasa tidak berdaya untuk mempengaruhi anak-anak. Akibatnya
orang tua membiarkan saja aktivitas, seperti penyalahgunaan akkohol,
obat-obatan terlarang, tidak menghormati wibawa, hak dan milik orang lain,
kekejaman dan perlawanan. Kaum remaja mengartikan pendekatan yang serba boleh
itu sebagai undangan untuk dapat berbuat semaunya. Orang tua kehilangan harga
di mata anak-anak, karena mereka menganggapnya orang tua yang tidak berdaya,
tidak cakap, memberikan bimbingan serta tidak mampu memelihara kesatuan dalam
keluarga. Anak mulai kehilangan rasa hormat pada orang tua, tidak menghargai
mereka dan menanti saja hingga anak-anak belasan tahun cukup tua untuk
meninggalkan rumah.
2.
Keterampilan orang tua mengasuh anak secara otokratis.
Orang tua mempunyai
kepercayaan bahwa orang tualah yang bertanggung jawab atas perilaku
anak-anaknya; dapat bersikap begitu bila orang tua lebih efektif sebagai orang
tua, dan anak remaja akan selalu berperilaku baik, orang tua yakin anak belasan
tahun akan berpaling ke cara orang tua yang menghendaki dan ini merupakan tugas
orang tua, untuk melaksanakan keyakinan, nilai-nilai, perilaku dan standar pada
anak-anak remaja mereka. Orang tua yang bersifat memaksa mungkin pada awalnya
berhasil selama anak menjelang remaja, namun anak-anak remaja sadar bahwa
mereka memiliki kekuatan untuk bertahan, tidak akan bekerja sama dengan orang
tua dan mulai mempraktikkan kekuatan itu dalam hal misalnya merokok, membolos
sekolah, memilih teman, alkohol, menonton TV, dan aktivitas waktu senggang.
Meningkatnya upaya orang tua untuk mengawasi anak-anak remaja melalui metode
paksaan hanya mengandung perlawanan dan penarikan diri dan kerja sama.
Semua poroblem yang
melibatkan orang tua dan anak berasal dari kesalahan relasi. Saling menghormati
dan percaya membentuk relasi yang efektif di masyarakat zaman sekarang.
Ciri-ciri relasi berdasarkan kesamaan dijelaskan oleh Dinkmeyer dan McKay dalam
Maurice (1999) adalah sebagai berikut:
-
Saling memperlihatkan dan mengurus;
-
Empati terhadap masing-masing;
-
Berhasrat untuk mendengarkan satu dan yang lain;
-
Lebih melihat sifat yang bernilai dari pada kekurangannya;
-
Melaksanakan kerja sama dan keikutsertaan yang sama
tingkatnya dalam memecahkan konflik.
-
Lebih baik mengungkapkan pikiran dan perasaan daripada
menahan meledak menjadi kemarahan.
-
Saling mendukung dan menerima, bila orang tidak sempurna
yang ada proses pertumbuhan,
2.1.1
Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua.
Ada
kecenderungan orang tua untuk lebih menyukai atau lebih sering menggunakan pola
tertentu, yang dalam penggunaannya dipengaruhi oleh sejumlah faktor (Ihromi,
2004).
1.
Menyamakan diri dengan pola sosialisasi yang digunakan oleh
orang tua mereka. Bila orang tua menganggap bahwa pola asuh orang tua mereka
baik maka ketika mempunyai anak mereka kembali memakai pola asuh yang mereka
terima. Bila menganggap pola asuh orang tua mereka dulu salah, biasanya mereka
memakai pola yang berbeda. Misal dulu ia menerima pola asuh yang otoriter dari
orang tua mereka, sekarang mereka menggunakan pola yang demokratis atau
permisif pada anak-anaknya.
2.
Menyamakan pola yang dianggap paling baik oleh masyarakat
sekitarnya, biasanya oleh orang tua yang masih muda dan kurang berpengalaman.
3.
Usia dari orang tua. Orang tua yang usianya masih muda
cenderung memilih pola yang demokratis atau permisif dibandingkan mereka yang
lanjut usia.
4.
Kursus-kursus. Orang dewasa telah mengikuti kursus persiapan
perkawinan, kursus kesejahteraan keluarga atau kursus pemeliharaan anak akan
lebih mengerti tentang anak dan kebutuhannya, sehingga cenderung menggunakan
pola asuh demokratis.
5.
Jenis kelamin orang tua. Pada umumnya wanita lebih mengerti
tentang anak oleh karena itu lebih demokratis terhadap anaknya dibanding pria.
6.
Status sosial ekonomi juga mempengaruhi orang tua dalam
menggunakan pola sosialisasi mereka bagi anak-anaknya.
7.
Konsep peranan orang tua. Orang tua yang tradisional
cenderung lebih menggunakan pola yang otoriter dibanding dengan orang tua yang
lebih moderen.
8.
Jenis kelamin anak. Orang tua juga memberikan anak-anak
mereka seseuai dengan jenis kelaminnya, misalnya terhadap anak perempuan,
mereka harus menjaga lebih ketat sehingga menggunakan pola otoriter, sedangkan
anak laki-laki cenderung lebih permisif atau demokratis, atau mungkin juga
sebaliknya.
9.
Usia anak. Pada umumnya pola yang otoriter sering digunakan
pada anak-anak kecil, karena mereka belum mengerti secara pasti mana yang baik
dan mana yang buruk, sehingga orang tua lebih sering memaksa atau menekan.
10. Kondisi anak. Bagi
anak-anak yang agresif, lebih baik menggunakan pola sosialisasi yang otoriter,
sedang anak-anak yang mudah merasa takut dan cemas lebih tepat digunakan pola
yang demokratis.
2.1.2
Tugas-tugas keluarga
(orang tua) dengan anak remaja.
Menurut Josephson (2003) orang tua memerlukan
perencanaan; sebuah strategi yang diterapkan dan realistis untuk membantu orang
tua dalam mengembangkan sifat-sifat anak yaitu:
1.
Teach (mengajarkan)
Adalah mengajarkan kepada
anak remaja tentang bagaimana beraklak baik. Aklak baik merupakan aspek penting
kehidupan dan sukses serta sebagian hidup manusia bergantung pada bagian dalam
dirinya, bukan pada harta, bukan pula pada kecantikan atau ketampanan luar,
dengan menerapkan peraturan dasar kehidupan; sikap amanah atau layak dipercaya,
rasa hormat, tanggung jawab, sikap adil, rasa peduli dan kasih sayang serta
menjadi warga negara.
a.
Pujian efektif
Kombinasi pujian, alasan dan konsekuensi positif, bertujuan
agar suatu perilaku spesifik bertambah kuat.
Contoh: membantu membereskan meja makan
tanpa disuruh.
b.
Pengajaran preventif
Metode mencegah timbulnya kesulitan dengan cara
mengajarkan remaja hal-hal apa saja yang harus dilakukan dan meminta remaja berlatih sebelum mengalami
situasi tertentu yang berpotensi menimbulkan masalah.
Conto: mengajarkan anak anda dengan
cara menolak jika teman-temannya mendesak dia untuk minum-minuman keras.
c.
Pengejaran korektif
Membantu mengidentifikasi perilaku remaja yang kurang baik
dan membimbing remaja menuju perilaku yang lebih pantas.
Contoh: remaja yang menempuh pilihan
yang buruk dan harus memperbaiki masalah yang timbul akibat pilihannya.
d.
Pengajaran kendali diri
Membantu orang tua dan anak remaja untuk mengendalikan emosi
dalam situasi ketika marah atau kacau.
2.
Enforce (memperkukuh)
Berusaha secara teratur
dan terus menerus mencari kesempatan berbicara dengan anak remaja tentang
karakter, kewajiban moral yang harus di hadapi atau memperkuat remaja dalam
pilihannya dengan memberikan pujian mana kala ia menentukan pilihan yang bagus
dan menjatuhkan komsekuensi jika pilihan tidak sesuai dengan prinsip karakter.
3.
Advocate (memperjuangkan)
Pantang mengendalikan
keyakinan mengenai kekuatan akhlak untuk membuat hidup lebih baik.
Contoh: memberikan kaki pada keset
sebelum anda masuk kerumah menunjukkan bahwa orang tua punya perhatian terhadap
keadaan rumah dan anggota keluarga lainnya.
4.
Model (melakukan atau memberi contoh)
Dimana orang tua harus
memberikan contoh sikap atau perilaku yang baik terhadap anaknya, apabila orang
tua sengaja atau tidak sengaja pada saat berperilaku tidak baik anak tersebut
bisa meniru perilaku orang tua tersebut.
Menurut
Sopian (2008) tugas-tugas orang tua meliputi :
a)
Menjadi pembicara dan pendengar yang baik.
Komunikasi yang baik
adalah penting untuk mencapai tujuan-tujuan sebagaimana yang diharapkan.
Apalagi dalam hubungan komunikasi antara orang tua dan anak. Karena itu, orang
tua harus mampu menjadi seoarang pembicara (komunikator) sekaligus pendengar
(komunikan) yang baik.
b)
Menciptakan suasana rumah yang menyenangkan.
c)
Kepribadian positif dan berhubungan kasih sayang.
Menunjukkan toleransi
sehingga anak mengetahui bahwa orang tua dapat menyetujui keinginan anak.
Usahakan mencari hal-hal yang dapat disetujui oleh orang tua dan anak.
d) Menjadi teman pendamping
bagi anak
Menjadi teman pendamping
berarti menciptakan hubungan hangat dan akrab dengan anak. Hal ini bisa
berjalan dengan baik apabila ada rasa saling percaya antara orang tua dengan
anak, sebab secara langsung hal ini mempengaruhi nilai hubungan baik dan
komunikasi antara kedua belah pihak.
e)
Memberi tuntutan dalam memberikan tugas pekerjaan pada anak.
Bekerja mempunyai arti
besar bagi perkembangan kebutuhan dan harga diri. Kecakapan-kecakapan yang bisa
dipelajari dari kebiasaan kerja antara lain: konsentrasi, ketekunan, ketepatan
melatih bagaimana membuat keputusan dan ketepatan melatih untuk dapat berdiri
sendiri tanpa pengawasan orang tua.
f)
Memberi sangsi atau hukuman pada anak
Seandainya anak tidak mengindakan
perintah atau peraturan, berilah peringatan terlebih dahulu sebelum memberikan
hukuman. Peringatan sebaiknya diberikan sekali atau dua kali, bila tidak
diperhatikan berilah sangsi yang jelas. Jelas mengenai kesalahan yang dibuat
maupun sangsi yang akan di berikan.
g)
Memberikan penghargaan dengan hadiah atau pujian.
Memberikan penghargaan dengan hadiah
karena prestasi maupun keberhasilan atau ketekunannya dalam melakukan suatu
tugas pekerjaan adalah sangat baik bila dilakukan. Sebab pemberian hadiah atau
penghargaan dapat menimbulkan rasa bangga, kontrol diri, dan mempererat
hubungan dengan anak. Pemberian hadiah tidak selalu dengan barang bisa juga
dengan kata-kata pujian.
No comments:
Post a Comment