Tuesday, October 23, 2012

BAB II (Belum Revisi)


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1        Konsep Pola Asuh Keluarga
         Pola asuh adalah pola orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya dalam memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari (Baumrind, 2003). Sedangkan menurut Maichati (dalam Sayuti, 1993) menjelaskan bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap tersebut meliputi cara orangtua dalam memberikan aturan-aturan dalam kehidupan sehari-hari.
         Pola asuh orang tua adalah suatu pola atau sistem yang diterapkan dalam menjaga, merawat dan mendidik seorang anak yang bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dari segi positif atau negatif (Lien Laura, 1989).
         Para ahli mengemukakan (Gunarsa dan Gunarsa, 1995; Helm dan Turner, 1995; Papalia, Olds dan Feldmand, 1998) mengemukakan bahwa pola asuh dari orang tua amat mempengaruhi keperibadian dan perilaku anak. Baumrind, ahli psikologi perkembangan membagi pola asuh orang tua menjadi 3 yakni otoriter, permisif, dan demokratis:
1.    Pola asuh otoriter (parent oriented). Ciri-ciri dari pola asuh ini, menekankan segala aturan orang tua harus ditaati oleh anak. Orang tua bertindak semena-mena, tanpa dapat dikontrol oleh anak. Anak harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa yang diperintahkan oleh orang tua. Dalam hal ini, anak seolah-oleh menjadi “robot”, sehingga ia kurang inisiatif, merasa takut, tidak percaya diri, pencemas, rendah diri, minder dalam pergaulan; tetapi disisi lain, anak bisa memberontak, nakal, atau melarikan diri dari kenyataan, misalnya dengan menggunakan narkoba (alchohol or drug abuse). Dari segi positifnya, anak yang didik dalam pola asuh ini, cenderung menjadi disiplin yakni mentaati peraturan. Akan tetapi bisa jadi, ia hanya mau menunjukkan kedisiplinan dihadapan orang tua, padahal di hatinya berbicara lain, sehingga ketika di belakang orang tua, anak bersikap dan bertindak lain. Hal itu tujuannya semata hanya untuk menyenangkan hati orang tua. Jadi anak cenderung memiliki kedisiplinan dan kepatuhan yang semu.
2.   Pola asuh permisif. Sifat pola asuh ini, childreen centered yakni segala aturan dan ketetapan keluarga ditangan anak. Apa yang dilakukan anak diperbolehkan orang tua. Orang tua menuruti segala kemauan anak. Anak cenderung bertindak sewena-wena, tanpa pengawasan orang tua. Ia bebas melakukan apa yang diinginkan. Dari sisi negatif lain, anak kurang  disiplin dengan aturan-aturan sosial yang berlaku. Bila anak mampu menggunakan kebebasan tersebut secara bertanggung jawab, maka anak akan menjadi seorang mandiri, kreatif, inisiatif dan mampu mewujudkan aktualisasinya.
3.   Pola asuh demokratis. Kedudukan antara anak dan orang tua sejajar. Suatu keputusan diambil bersama dengan memperhitungkan kedua belah pihak. Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apa yang dilakukan oleh anak tetap harus berada dibawah pengawasan orang tua dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral. Orang tua dan anak tidak dapat berbuat sewena-wena. Anak diberi kepercayaan dan dilatih untuk mempertanggung jawabkan tindakannya. Akibat positif dari pola asuh ini, anak akan menjadi seorang individu yang mempercayai orang lain, bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya, tidak munafik, jujur. Namun akibat negatif, anak akan cenderung merongrong kewibawaan otoritas orang tua, kalu segala sesuatu harus dipertimbangkan antara anak-orang tua.
4.   Pola asuh situasional. Dalam kenyataannya, sering kali pola asuh tersebut ditetapkan secara kaku, artinya orang tua tidak menetapkan salah satu tipe pola asuh tersebut. Ada kemungkinan orang tua menerapkan secara fleksibel, luwes dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berlangsung pada saat itu. Sehingga sering kali munculah, tipe pola asuh situasional. Orang yang menerapkan pola asuh ini, tidak berdasarkan pada pola asuh tertentu, tetapi semua tipe tersebut diterapkan secara luwes.
        Sedangkan menurut E.B.Hurlock dalam Ihromi (2004), pola sisialisasi yang digunakan orang tua dalam mengasuh anak-anaknya adalah :
1.   Otoriter: anak tidak memperoleh kesempatan untuk mengendalikan perbuatan perbuatannya.
-          Orang tua memiliki kaidah kaidah dan peraturan yang kaku.
-          Setiap pelanggaran dikenakan hukuman.
-          Sedikit sekali atau tidak pernah ada pujian atau tanda tanda yang membenarkan tingkah laku anak apabila mereka melakasanakan aturan.
-          Tingkah laku anak dikekang secara kaku, tidak ada kebebasan berbuat kecuali sudah ditetapkan.
-          Orang tua menentukan bagaimana harus berbuat.
2.   Demokratis: Orang tua yang demokratis adalah orang tua yang berusaha untuk menumbuhkan kontrol diri dalam diri anak.
-          Orang tua menggunakan diskusi, penjelasan dan alasan yang membantu anak mengerti ia diminta mematuhi aturan.
-          Orang tua menekankan aspek pendidikan ketimbang aspek hukuman.
-          Hukuman tidak pernah kasar, dan hanya diberikan apabila anak sengaja menolak perbuatan yang harus ia lakukan.
-          Apabila perbuatan anak sesuai dan patut, orang tua memberi pujian.
3.   Permisif: pada pola ini pengawasan sangat longgar.
-          Orang tua bersikap membiarkan atau mengizinkan setiap tingkah laku anak.
-          Tidak pernah memberi hukuman.
-          Membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tata cara yang memberi batasan-batasan dari tingkah lakunya.
-          Pada saat terjadi hal yang berlebihan barulah orang tua bertindak.

Sedangkan menurut Maurice (1999), kesalahan orang tua menghadapi anak remaja adalah :
1.   Keterampilan orang tua mengasuh anak secara bebas/memanjakan.
Melihat masa remaja sebagai satu periode pemberontakan yang terhindarkan dan orang tua hanya memiliki sedikit kemampuan untuk mempengaruhi anak-anak belasan tahun, maka orang tua menerima dan memaafkan saja anak-anak muda yang berperilaku tidak bertanggung jawab. Orang tua yang serba membolehkan, menghindari konflik, karena mereka merasa tidak berdaya untuk mempengaruhi anak-anak. Akibatnya orang tua membiarkan saja aktivitas, seperti penyalahgunaan akkohol, obat-obatan terlarang, tidak menghormati wibawa, hak dan milik orang lain, kekejaman dan perlawanan. Kaum remaja mengartikan pendekatan yang serba boleh itu sebagai undangan untuk dapat berbuat semaunya. Orang tua kehilangan harga di mata anak-anak, karena mereka menganggapnya orang tua yang tidak berdaya, tidak cakap, memberikan bimbingan serta tidak mampu memelihara kesatuan dalam keluarga. Anak mulai kehilangan rasa hormat pada orang tua, tidak menghargai mereka dan menanti saja hingga anak-anak belasan tahun cukup tua untuk meninggalkan rumah.


2.   Keterampilan orang tua mengasuh anak secara otokratis.
Orang tua mempunyai kepercayaan bahwa orang tualah yang bertanggung jawab atas perilaku anak-anaknya; dapat bersikap begitu bila orang tua lebih efektif sebagai orang tua, dan anak remaja akan selalu berperilaku baik, orang tua yakin anak belasan tahun akan berpaling ke cara orang tua yang menghendaki dan ini merupakan tugas orang tua, untuk melaksanakan keyakinan, nilai-nilai, perilaku dan standar pada anak-anak remaja mereka. Orang tua yang bersifat memaksa mungkin pada awalnya berhasil selama anak menjelang remaja, namun anak-anak remaja sadar bahwa mereka memiliki kekuatan untuk bertahan, tidak akan bekerja sama dengan orang tua dan mulai mempraktikkan kekuatan itu dalam hal misalnya merokok, membolos sekolah, memilih teman, alkohol, menonton TV, dan aktivitas waktu senggang. Meningkatnya upaya orang tua untuk mengawasi anak-anak remaja melalui metode paksaan hanya mengandung perlawanan dan penarikan diri dan kerja sama.
Semua poroblem yang melibatkan orang tua dan anak berasal dari kesalahan relasi. Saling menghormati dan percaya membentuk relasi yang efektif di masyarakat zaman sekarang. Ciri-ciri relasi berdasarkan kesamaan dijelaskan oleh Dinkmeyer dan McKay dalam Maurice (1999) adalah sebagai berikut:
-          Saling memperlihatkan dan mengurus;
-          Empati terhadap masing-masing;
-          Berhasrat untuk mendengarkan satu dan yang lain;
-          Lebih melihat sifat yang bernilai dari pada kekurangannya;
-          Melaksanakan kerja sama dan keikutsertaan yang sama tingkatnya dalam memecahkan konflik.
-          Lebih baik mengungkapkan pikiran dan perasaan daripada menahan meledak menjadi kemarahan.
-          Saling mendukung dan menerima, bila orang tidak sempurna yang ada proses pertumbuhan,

2.1.1        Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua.
           Ada kecenderungan orang tua untuk lebih menyukai atau lebih sering menggunakan pola tertentu, yang dalam penggunaannya dipengaruhi oleh sejumlah faktor (Ihromi, 2004).
1.      Menyamakan diri dengan pola sosialisasi yang digunakan oleh orang tua mereka. Bila orang tua menganggap bahwa pola asuh orang tua mereka baik maka ketika mempunyai anak mereka kembali memakai pola asuh yang mereka terima. Bila menganggap pola asuh orang tua mereka dulu salah, biasanya mereka memakai pola yang berbeda. Misal dulu ia menerima pola asuh yang otoriter dari orang tua mereka, sekarang mereka menggunakan pola yang demokratis atau permisif pada anak-anaknya.
2.      Menyamakan pola yang dianggap paling baik oleh masyarakat sekitarnya, biasanya oleh orang tua yang masih muda dan kurang berpengalaman.
3.      Usia dari orang tua. Orang tua yang usianya masih muda cenderung memilih pola yang demokratis atau permisif dibandingkan mereka yang lanjut usia.
4.      Kursus-kursus. Orang dewasa telah mengikuti kursus persiapan perkawinan, kursus kesejahteraan keluarga atau kursus pemeliharaan anak akan lebih mengerti tentang anak dan kebutuhannya, sehingga cenderung menggunakan pola asuh demokratis.
5.      Jenis kelamin orang tua. Pada umumnya wanita lebih mengerti tentang anak oleh karena itu lebih demokratis terhadap anaknya dibanding pria.
6.      Status sosial ekonomi juga mempengaruhi orang tua dalam menggunakan pola sosialisasi mereka bagi anak-anaknya.
7.      Konsep peranan orang tua. Orang tua yang tradisional cenderung lebih menggunakan pola yang otoriter dibanding dengan orang tua yang lebih moderen.
8.      Jenis kelamin anak. Orang tua juga memberikan anak-anak mereka seseuai dengan jenis kelaminnya, misalnya terhadap anak perempuan, mereka harus menjaga lebih ketat sehingga menggunakan pola otoriter, sedangkan anak laki-laki cenderung lebih permisif atau demokratis, atau mungkin juga sebaliknya.
9.      Usia anak. Pada umumnya pola yang otoriter sering digunakan pada anak-anak kecil, karena mereka belum mengerti secara pasti mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga orang tua lebih sering memaksa atau menekan.
10.  Kondisi anak. Bagi anak-anak yang agresif, lebih baik menggunakan pola sosialisasi yang otoriter, sedang anak-anak yang mudah merasa takut dan cemas lebih tepat digunakan pola yang demokratis.

2.1.2        Tugas-tugas keluarga (orang tua) dengan anak remaja.
            Menurut Josephson (2003) orang tua memerlukan perencanaan; sebuah strategi yang diterapkan dan realistis untuk membantu orang tua dalam mengembangkan sifat-sifat anak yaitu:
1.      Teach (mengajarkan)
Adalah mengajarkan kepada anak remaja tentang bagaimana beraklak baik. Aklak baik merupakan aspek penting kehidupan dan sukses serta sebagian hidup manusia bergantung pada bagian dalam dirinya, bukan pada harta, bukan pula pada kecantikan atau ketampanan luar, dengan menerapkan peraturan dasar kehidupan; sikap amanah atau layak dipercaya, rasa hormat, tanggung jawab, sikap adil, rasa peduli dan kasih sayang serta menjadi warga negara.
a.       Pujian efektif
           Kombinasi pujian, alasan dan konsekuensi positif, bertujuan agar suatu perilaku spesifik bertambah kuat.
Contoh: membantu membereskan meja makan tanpa disuruh.
b.      Pengajaran preventif
           Metode mencegah timbulnya kesulitan dengan cara mengajarkan remaja hal-hal apa saja yang harus dilakukan dan  meminta remaja berlatih sebelum mengalami situasi tertentu yang berpotensi menimbulkan masalah.
Conto: mengajarkan anak anda dengan cara menolak jika teman-temannya mendesak dia untuk minum-minuman keras.
c.       Pengejaran korektif
           Membantu mengidentifikasi perilaku remaja yang kurang baik dan membimbing remaja menuju perilaku yang lebih pantas.
Contoh: remaja yang menempuh pilihan yang buruk dan harus memperbaiki masalah yang timbul akibat pilihannya.
d.      Pengajaran kendali diri
           Membantu orang tua dan anak remaja untuk mengendalikan emosi dalam situasi ketika marah atau kacau.
2.      Enforce (memperkukuh)
Berusaha secara teratur dan terus menerus mencari kesempatan berbicara dengan anak remaja tentang karakter, kewajiban moral yang harus di hadapi atau memperkuat remaja dalam pilihannya dengan memberikan pujian mana kala ia menentukan pilihan yang bagus dan menjatuhkan komsekuensi jika pilihan tidak sesuai dengan prinsip karakter.
3.      Advocate (memperjuangkan)
Pantang mengendalikan keyakinan mengenai kekuatan akhlak untuk membuat hidup lebih baik.
Contoh: memberikan kaki pada keset sebelum anda masuk kerumah menunjukkan bahwa orang tua punya perhatian terhadap keadaan rumah dan anggota keluarga lainnya.
4.      Model (melakukan atau memberi contoh)
Dimana orang tua harus memberikan contoh sikap atau perilaku yang baik terhadap anaknya, apabila orang tua sengaja atau tidak sengaja pada saat berperilaku tidak baik anak tersebut bisa meniru perilaku orang tua tersebut.
   Menurut Sopian (2008) tugas-tugas orang tua meliputi :
a)      Menjadi pembicara dan pendengar yang baik.
Komunikasi yang baik adalah penting untuk mencapai tujuan-tujuan sebagaimana yang diharapkan. Apalagi dalam hubungan komunikasi antara orang tua dan anak. Karena itu, orang tua harus mampu menjadi seoarang pembicara (komunikator) sekaligus pendengar (komunikan) yang baik.
b)      Menciptakan suasana rumah yang menyenangkan.
c)      Kepribadian positif dan berhubungan kasih sayang.
Menunjukkan toleransi sehingga anak mengetahui bahwa orang tua dapat menyetujui keinginan anak. Usahakan mencari hal-hal yang dapat disetujui oleh orang tua dan anak.
d)     Menjadi teman pendamping bagi anak
Menjadi teman pendamping berarti menciptakan hubungan hangat dan akrab dengan anak. Hal ini bisa berjalan dengan baik apabila ada rasa saling percaya antara orang tua dengan anak, sebab secara langsung hal ini mempengaruhi nilai hubungan baik dan komunikasi antara kedua belah pihak.
e)      Memberi tuntutan dalam memberikan tugas pekerjaan pada anak.
Bekerja mempunyai arti besar bagi perkembangan kebutuhan dan harga diri. Kecakapan-kecakapan yang bisa dipelajari dari kebiasaan kerja antara lain: konsentrasi, ketekunan, ketepatan melatih bagaimana membuat keputusan dan ketepatan melatih untuk dapat berdiri sendiri tanpa pengawasan orang tua.
f)       Memberi sangsi atau hukuman pada anak
Seandainya anak tidak mengindakan perintah atau peraturan, berilah peringatan terlebih dahulu sebelum memberikan hukuman. Peringatan sebaiknya diberikan sekali atau dua kali, bila tidak diperhatikan berilah sangsi yang jelas. Jelas mengenai kesalahan yang dibuat maupun sangsi yang akan di berikan.
g)      Memberikan penghargaan dengan hadiah atau pujian.
Memberikan penghargaan dengan hadiah karena prestasi maupun keberhasilan atau ketekunannya dalam melakukan suatu tugas pekerjaan adalah sangat baik bila dilakukan. Sebab pemberian hadiah atau penghargaan dapat menimbulkan rasa bangga, kontrol diri, dan mempererat hubungan dengan anak. Pemberian hadiah tidak selalu dengan barang bisa juga dengan kata-kata pujian.

No comments:

Post a Comment